Rabu, 18 Mei 2011

Dinding Bernyanyi

oleh P. Puteri

Dulu, dulu sekali, rumah ini begitu sepi. Hening di kala senja. Tenang saat fajar menjelang.
Pada masa itu, suara jangkrik masih terdengar. Kelelawar terbang masih terduga. Musang berkejaran di atas atap masih membuat jantung copot. Erangan kucing masih memecah deru sungai. Dan kicau burung merdu mengiring.
Awan berarak masih dapat terasa. Sinar matahari menyapu kulit dengan damai. Angin siur masih menerbangkan rambut. Dan selalu ada tempat duduk untuk menikmati semua itu.
Masa-masa seperti itu tentu tak tahan selamanya. Hari baru nan kejam menyingsing. Membenamkan masa dulu. Tak ada tempat mengadu hari ini.
Suara ribut. Lantai berdebu. Jarring labah-labah kian menebal. Tempat begitu sempitnya. Manusia bertambah. Manusia tak tau diuntung, yang hidupnya sama hinanya dengan kotoran got.
Barang-barang rusak. Asap rokok mengepul kesana-kemari. Nyamuk merajalela. Perut kelaparan. Mata menangis. Hati teriris.

Kutemukan alat penutup telinga di kemudian hari saat usiaku sepenggalan naik. Lalu dunia terasa lengang, lagi. Tanpa bising mereka. Tanpa maki mereka. Aku dibawa jauh oleh alat itu entah kemana. Dan aku bahagia tak kepalang. Rumah tidak senyap seperti yang kuharapkan. Malah dinding-dindingnya bernyanyi untukku. Melepas penatku. Menghapus air mataku. Mengobat hatiku.
Lalu kemudian, manusia paling tak berguna datang lebih banyak. Tempat begitu sesak. Asap rokok membludak tak terkira. Tak dapat bernapas aku ini.
Kupasang dan kupasang alat itu makin sering. Kupaksa dinding bernyanyi lebih keras dan lebih keras. Telingaku sakit tapi suara gaduh mereka bisa juga kudengar. Ingin kuasingkan diriku sendiri, tapi begitu tak ada tempat.

Ingin aku mati saja. Tapi apa suara para bangsat itu masih dapat kudengar? Bahkan setelah aku mati itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar